Yang boleh menjadi sutrah
1. Anak Panah
Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
سُتْرَةُ الرَّجُلِ فِي الصَّلَاةِ
السَّهْمُ ، وَإِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ ، فَلْيَسْتَتِرْ بِسَهْمٍ
“Sutrah seseorang ketika shalat adalah anak panah. Jika seseorang diantara
kalian shalat, hendaknya menjadikan anak panah sebagai sutrah” (HR. Ahmad
15042, dalam Majma Az Zawaid Al Haitsami berkata: “semua perawi Ahmad dalam
hadits ini adalah perawi Shahihain”).
2. Hewan tunggangan
Dalilnya hadits Ibnu Umar radhiallahu’anhu, beliau berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْرِضُ رَاحِلَتَهُ وَهُوَ يُصَلِّي إِلَيْهَا
“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pernah menghadap pada hewan
tunggangannya ketika shalat” (HR. Bukhari 507, Muslim 502)
Namun hendaknya hewan tunggangan yang dijadikan sutrah diikat dan tidak
membuat orang yang shalat terkena najis.
3. Tiang
Dalilnya hadits Salamah bin Al Akwa’ radhiallahu’anhu, Yazid bin Abi
Ubaid berkata:
كنتُ آتي مع سَلَمَةَ بنِ
الأكوَعِ،فَيُصلِّي عندَ الأُسطُوانَةِ التي عندَ المُصحفِ،، فقُلْت: يا أبا
مُسْلِمٍ، أراكَ تَتَحَرَّى الصلاةَ عندَ هذهِ الأُسطوانَةِ؟ قال: فإني رأيتُ
النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يَتَحَرَّى الصلاةَ عِندَها
“aku pernah bersama Salamah bin Al Akwa’, lalu ia shalat di sisi (di
belakang) tiang yang ada di Al Mushaf. Aku bertanya: ‘Wahai Abu Muslim, aku
melihat engkau shalat di belakang tiang ini, mengapa?’. Ia berkata: ‘aku pernah
melihat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memilih untuk shalat di
belakangnya’” (HR. Bukhari 502, Muslim 509)
4. Pohon
Dalilnya hadits dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, beliau
berkata:
لقد رأيتُنا ليلةَ بدرٍ, وما فينا
إنسانٌ إلَّا نائمًا, إلَّا رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم فإنَّه كان
يُصلِّي إلى شجرةٍ ويدعو حتَّى أصبحَ
“Sungguh aku menyaksikan keadaan kita pada malam hari perang Badar, tidak ada
seorang pun dari kita yang tidak tidur kecuali Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam. Ketika itu beliau mengerjakan shalat menghadap ke sebuah pohon dan
berdoa hingga pagi hari” (HR. Ahmad 2/271, Syaikh Ahmad Syakir menilai sanadnya
shahih)
5. Tongkat yang ditancapkan
Dalilnya hadits dari Abdullah bin Umar radhiallahu’anhuma, beliau
berkata:
أن رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه
وسلَّم كان إذا خرَج يومَ العيدِ، أمَرَ بالحَربَةِ فتوضَعُ بَين يَدَيهِ، فيُصلِّي
إليها والناسُ وَراءَهُ، وكان يفعل ذلك في السَّفرِ، فمِنْ ثَمَّ اتَّخَذَها
الأُمَراءُ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam jika keluar ke lapangan untuk
shalat Id, beliau memerintahkan seseorang untuk membawa tombak lalu ditancapkan
di hadapan beliau. Lalu beliau shalat menghadap tombak tersebut dan orang-orang
manusia bermakmum di belakang beliau. Beliau juga melakukan ini tersebut dalam
safarnya. Kemudian hal ini pun dicontoh oleh para umara” (HR. Bukhari 494,
Muslim 501)
6. Dinding
Dalilnya hadits Sahl bin Sa’ad As Sa’idi radhiallahu’anhu
كان بين مُصلَّى رسولِ اللهِ صلَّى
اللهُ عليهِ وسلَّمَ وبين الجدارِ ممرُّ الشاةِ
“Biasanya antara tempat shalat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
dengan dinding ada jarak yang cukup untuk domba lewat” (HR. Al Bukhari
496)
7. Benda apapun yang meninggi
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
يَقْطَعُ الصَّلَاةَ، الْمَرْأَةُ،
وَالْحِمَارُ، وَالْكَلْبُ، وَيَقِي ذَلِكَ مِثْلُ مُؤْخِرَةِ الرَّحْلِ
“Lewatnya wanita, keledai dan anjing membatalkan shalat. Itu dapat dicegah
dengan menghadap pada benda yang setinggi mu’khiratur rahl” (HR. Muslim
511)
Imam An Nawawi menjelaskan: “mu’khiratur rahl adalah sandaran pelana
yang biasanya ada di belakang penunggang hewan” (Syarh Shahih Muslim,
1/231).
Namun para ulama berbeda pendapat mengenai seberapa tinggi mu’khiratur
rahl itu? An Nawawi menyatakan, “dalam hadits ini ada penjelasan bahwa
sutrah itu minimal setinggi mu’khiratur rahl, yaitu sekitar 2/3 hasta,
namun dapat digantikan dengan apa saja yang berdiri di depannya” (Syarh
Shahih Muslim, 4/216). Ibnu Bathal memaparkan: “At Tsauri dan Abu Hanifah
menyatakan ukuran minimal sutrah
setinggi mu’khiratur rahl yaitu tingginya 1 hasta. Ini juga pendapat
Atha’. Al Auza’i juga menyatakan semisal itu, hanya saja ia tidak membatasi
harus 1 hasta atau berapapun” (Syarh Shahih Muslim, 2/131). Tentu saja
ini adalah khilafiyah ijtihadiyyah diantara para ulama.
Andaikan seseorang hanya mendapatkan benda yang tingginya kurang dari 1 hasta
atau 2/3 hasta, semisal batu, kayu, tas atau semacamnya apa yang mesti ia
lakukan? Jawabnya, ia boleh memakai benda tersebut sebagai sutrah, selama benda
tersebut bisa menghalangi atau membatasi orang yang lewat di depannya. Ini
adalah pendapat Sa’id bin Jubair, Al Auza’i, Imam Ahmad, Asy Sya’bi, dan Nafi’.
Abu Sa’id berkata: “kami biasa bersutrah dengan panah atau dengan batu dalam
shalat” (lihat Fathul Baari Libni Rajab, 4/38). Sehingga dalam hal ini
perkaranya luas insya Allah.
8. Orang lain
Jika benda yang tingginya sekitar 2/3 hasta sah untuk menjadi sutrah, maka
bersutrah dengan orang lain yang tentu lebih tinggi dari itu dibolehkan. Jumhur
ulama menyatakan bolehnya menjadikan orang lain sebagai sutrah. Namun mereka
berselisih pendapat dalam rinciannya.
Hanabilah secara mutlak membolehkan bersutrah kepada orang lain. Adapun
Hanafiyah dan Malikiyyah menyatakan bolehnya bersutrah pada punggung orang lain,
baik ia berdiri ataupun duduk. Adapun bersutrah mengharap bagian depan orang
lain, atau menghadap orang yang tidur, atau menghadap wanita tidak
diperbolehkan. Sedangkan menghadap punggung wanita hukum diperselisihkan,
dianggap boleh oleh Hanafiyah dan salah satu pendapat Malikiyyah, dan haram
menurut pendapat lain dari Malikiyyah.
Ringkasnya, boleh bersutrah kepada orang lain, selama ia tidak membuat orang
yang shalat teralihkan atau tersibukkan pikirannya atau membuatnya tidak khusyu’
(lihat Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyyah, 24/179).
Yang tidak boleh dijadikan sutrah
1. Garis
Sebagian ulama, semisal Malikiyah, membolehkan untuk menghadap sutrah berupa
garis, namun ini tidak benar karena dalil yang mereka gunakan adalah hadits yang
dhaif. Yaitu hadits:
إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ
فَلْيَجْعَل تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا،
فَإِنْ لَمْ يَكُنْ مَعَهُ عَصًا فَلْيَخُطَّ خَطًّا، ثُمَّ لاَ يَضُرُّهُ مَا
مَرَّ أَمَامَهُ
“Jika salah seorang diantara kalian shalat, maka jadikanlah sesuatu berada
di hadapannya. Jika tidak ada apa-apa maka tancapkanlah tongkat. Jika tidak ada
tongkat maka buatlah garis. Setelah itu apa saja yang lewat di depan dia tidak
akan membatalkannya” (HR. Ahmad 7392, Ibnu Majah 943)
dari jalan Isma’il bin Umayyah, dari Abu Amr bin Muhammad bin Amr bin
Huraits, dari kakeknya, Huraits bin Sulaim, dari Abu Hurairah
radhiallahu’anhu. Abu ‘Amr bin Muhammad dan juga kakeknya Huraits bin
Sulaim berstatus majhul. Sehingga sanad ini sangat lemah.
Terdapat jalan lain yang dikeluarkan oleh Abu Daud Ath Thayalisi dalam
Musnad-nya (2705), dari jalan Hammam, dari Ayyub bin Musa, dari anak
pamannya yang biasa membacakan hadits padanya, dari Abu Hurairah
radhiallahu’anhu. Sanad ini mubham, karena terdapat perawi yang
tidak diketahui namanya.
Terdapat jalan lain yang dikeluarkan Musaddad dalam Musnad-nya, dari
jalan Hasyim, ia menuturkan, Khalid Hadza, dari Iyyas bin Mu’awiyah, dari Sa’id
bin Jubair bahwa ia berkata:
إذا كان الرجل يصلي في فضاء؛ فليركز
بين يديه شيئاً؛ فإن لم يكن معه شيء؛ فليخط خطاً في الأرض
“Jika seseorang shalat di tanah lapang, maka tegakkanlah sesuatu di
hadapannya. Jika ia tidak mendapati apa-apa, maka buatlah garis”
Semua perawinya tsiqah namun Sa’id bin Jubair adalah seorang tabi’in,
sehingga sanad ini maqthu’. Dengan demikian hadits ini sangat dhaif dan
sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah bahwa garis mencukupi untuk dijadikan
sutrah (lihat Silsilah Ahadits Shahihah Syaikh Al Albani,
12/674-679).
Namun perlu menjadi catatan, jumhur ulama membolehkan bersutrah dengan garis
jika tidak mendapatkan benda yang tingginya sekitar 2/3 hasta atau 1 hasta (atau
lebih). Dan membuat khat (garis) tersurat dalam nash, walaupun
dha’if. Sufyan Ats Tsauri menyatakan: “Membuat garis lebih disukai daripada
bersutrah dengan batu yang ada di jalanan jika kurang dari 1 hasta” (Fathul
Baari Libni Rajab, 4/38). Dan dalam hal ini, para ulama meng-qiyas-kan
sajadah dengan garis. Artinya jika tidak mendapatkan benda tinggi yang bisa
dijadikan sutrah, maka boleh menggunakan sajadah. At Thahthawi mengatakan: “Ini
qiyas yang lebih utama, karena al mushalla (pijakan tempat
shalat;sajadah) lebih bisa menghalangi orang yang lewat dari pada sekedar
garis”. Para ulama Syafi’iyyah bahwa lebih mengutamakan sajadah daripada sekedar
garis, mereka mengatakan: “Sajadah lebih didahulukan daripada garis, karena
sajadah lebih mencocoki maksud (dari sutrah)” (lihat Mausu’ah Fiqhiyyah
Kuwaitiyah, 24/180).
Kesimpulannya, tidak boleh bersutrah dengan garis jika masih ada benda-benda
lain yang bisa dijadikan sutrah. Namun jika memang tidak ada, maka jika ada
sajadah itu lebih utama. Jika tidak ada, maka dengan membuat garis yang terlihat
orang lain.
2. Mushaf Al Qur’an
Syaikh Abdullah Al Faqih mengatakan: “tidak semestinya menjadikan mushaf
sebagai sutrah bagi orang yang shalat
di masjid ataupun di tempat lain. Dalam kitab At Taaj dan Al
Ikliil karya Al Mawwaq ia berkata: “berkata penulis Al Mudawwanah:
‘tidak baik bagi orang yang shalat menjadikan mushaf sebagai kiblat dengan
mengarah kepadanya’”. juga Al Hathab dalam Mawahib Al Jalil mengatakan:
“tidak boleh shalat menghadap sutrah”. (Sumber: http://fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=56899
)
3. Segala benda yang jika dijadikan sutrah, akan menyerupai penyembah berhala
Jika benda yang dipakai sutrah dikhawatirkan muncul sangkaan bahwa orang yang
shalat menyembah benda tersebut, maka terlarang memakainya sebagai sutrah.
Sebagaimana para ulama melarang menggunakan sutrah berupa satu buah batu besar
jika sebenarnya banyak batu tersedia. Karena itu menyerupai orang-orang
penyembah berhala dan akan disangka dilakukan penyembahan pada batu tersebut.
Adapun jika batu yang dijadikan sutrah itu banyak, maka tidak mengapa
(Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 24/178)
4. Segala benda yang membuat shalat tidak khusyu’
Setiap muslim wajib untuk berusaha khusyu’ dalam shalat dengan menjauhkan
hal-hal yang bisa memalingkan hatinya dari kesibukan shalat. Nabi
Shallallahu’alaihi Wasallam berkata:
إن في الصلاة لشغلا
“Sungguh, shalat itu sangatlah sibuk” (Muttafaqun ‘Alaih)
Para ulama menyatakan: “hendaknya sutrah shalat itu benda yang tsabit
(tetap; stabil) tidak menyibukkan pikiran orang yang shalat sehingga tidak
khusyu’” ( Mausu’ah Fiqhiyyah Kuwaitiyah, 24/178)
Semoga bermanfaat.
—
Penulis: Yulian Purnama
Title : Yang Boleh Dan Yang Tidak Boleh Menjadi Sutrah
Description : Yang boleh menjadi sutrah 1. Anak Panah Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: سُتْرَةُ الرَّجُلِ فِي الصَّلَاةِ السَ...
Description : Yang boleh menjadi sutrah 1. Anak Panah Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: سُتْرَةُ الرَّجُلِ فِي الصَّلَاةِ السَ...
0 Response to "Yang Boleh Dan Yang Tidak Boleh Menjadi Sutrah"
Post a Comment