Dua Akad yang Bisa Dimanfaatkan Jika Kita Memiliki Modal
1- Bagi hasil dalam untung dan rugi (Mudharabah)
Dasar dalil mengenai dibolehkannya mudharabah (bagi hasil)
diambil dari hadits mengenai musaaqoh yaitu bagi hasil dengan cara
menyerahkan tanaman kepada petani yang mengerjakan dengan pembagian tertentu
dari hasil panennya.
عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ دَفَعَ إِلَى يَهُودِ
خَيْبَرَ نَخْلَ خَيْبَرَ وَأَرْضَهَا عَلَى أَنْ يَعْتَمِلُوهَا مِنْ
أَمْوَالِهِمْ وَلِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- شَطْرُ ثَمَرِهَا
“Dari Nafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwasannya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan kepada bangsa Yahudi Khaibar
kebun kurma dan ladang daerah Khaibar, agar mereka yang menggarapnya dengan
biaya dari mereka sendiri, dengan perjanjian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam mendapatkan separuh dari hasil panennya.” (HR. Bukhari no. 2329
dan Muslim no. 1551).
Pada hadits ini dengan jelas dinyatakan bahwa perkebunan kurma
dan ladang daerah Khaibar yang telah menjadi milik umat Islam dipercayakan
kepada orang Yahudi setempat, agar dirawat dan ditanami. Adapun perjanjiannya
adalah dengan bagi hasil 50% banding 50%. Pembagian bagi hasil ini ditetapkan
dari hasil panen, bukan dari modal yang ditanam oleh si pemodal.
Pada akad mudharabah, asas keadilan benar-benar harus dapat
diwujudkan. Yang demikian itu dikarenakan kedua belah pihak yang terkait,
sama-sama merasakan keuntungan yang diperoleh. Sebagaimana mereka semua
menanggung kerugian bila terjadi secara bersama-sama, pemodal menanggung
kerugian materi (modal), sedangkan pelaku usaha menanggung kerugian non-materi
(tenaga dan pikiran). Sehingga pada akad mudharabah tidak ada seorang pun yang
dibenarkan untuk mengeruk keuntungan tanpa harus menanggung resiko usaha.
2- Melalui jalan mengupahi (ijaroh)
Akad kedua ini bukan artinya memodali, namun mempekerjakan
orang. Jalan ini pun bisa ditempuh bagi yang memiliki modal.
Ijaroh atau jual beli jasa adalah suatu transaksi yang objeknya
adalah manfaat atau jasa yang mubah dalam syariat dan manfaat tersebut jelas
diketahui, dalam jangka waktu yang jelas serta dengan uang sewa yang jelas.
Ijaroh termasuk transaksi yang mengikat kedua belah pihak yang mengadakan
transaksi yaitu pembeli dan penjual jasa. Artinya salah satu dari keduanya tidak
boleh membatalkan transaksi tanpa persetujuan pihak kedua.
Ijaroh itu ada dua macam:
- ijaroh dengan objek transaksi benda tertentu semisal menyewakan rumah, kamar kost, menyewakan mobil (rental mobil, taksi, bis kota dll).
- ijaroh dengan objek transaksi pekerjaan tertentu semisal mempekerjakan orang untuk membangun rumah, mencangkul kebun dll.
Contoh misalnya dalam memanfaatkan modal untuk ternak kambing.
Cara seperti ini yang dipilih. Juragan mempekerjakan dua orang, lantas dalam
waktu per hari dihitung mendapatkan upah Rp. 30.000,- dan upahnya diserahkan di
akhir pekan sesuai perjanjian atau kesepakatan.
Di antara ketentuan dari bentuk ijaroh seperti di
atas:
- Dalam ijaroh seorang pekerja berhak atas upah atau gaji jika dia telah
menyelesaikan pekerjaan yang menjadi kewajibannya secara sempurna dan
professional. Pekerja semacam ini harus segera diberi upah begitu pekerjaannya
selesai sampai-sampai nabi katakan sebelum keringatnya kering.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih). Maksud hadits ini adalah bersegera menunaikan hak si pekerja setelah selesainya pekerjaan, begitu juga bisa dimaksud jika telah ada kesepakatan pemberian gaji setiap bulan.
Al Munawi berkata, “Diharamkan menunda pemberian gaji padahal mampu menunaikannya tepat waktu. Yang dimaksud memberikan gaji sebelum keringat si pekerja kering adalah ungkapan untuk menunjukkan diperintahkannya memberikan gaji setelah pekerjaan itu selesai ketika si pekerja meminta walau keringatnya tidak kering atau keringatnya telah kering.” (Faidhul Qodir, 1: 718) - Pada dasarnya pekerja tidaklah memiliki kewajiban mengganti barang yang
rusak yang diamanahkan oleh pihak yang mempekerjakan atau barang yang disewakan
asalkan kerusakan barang tersebut bukan karena kecerobohan penyewa atau
pekerja.
Untuk transaksi ini berarti kerugian usaha ditanggung oleh pemilik modal, bukan para pekerjanya selama kerusakan bukan terjadi karena kecerobohan pekerja. Sedangkan keuntungan usaha semuanya menjadi hak pemilik modal.
Jika Memilih Meminjamkan Uang Sebagai Modal
Cara ini bisa ditempuh jika kita memiliki modal besar dan
khawatir menyimpan di bank, maka kita bisa pinjamkan
pada orang yang amanat untuk mengembalikannya di waktu akan datang. Namun dengan
syarat, peminjaman modal di sini bukan untuk meraup keuntungan. Karena
keuntungan yang ada dalam utang piutang, itu termasuk riba. Ibnu Qudamah
mengatakan bahwa riba adalah:
الزِّيَادَةُ فِي أَشْيَاءَ
مَخْصُوصَةٍ
“Penambahan pada barang dagangan/komoditi tertentu.” (Al
Mughni, 6: 51)
Para ulama pun bersepakat (berijma’),
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً
فَهُوَ رِبًا
“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan (keuntungan), maka itu
adalah riba.”Ibnu Qudamah membawakan sebuah fasal dalam Al Mughni (6: 436),
وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ
يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ.
“Setiap piutang yang mensyaratkan adanya tambahan, maka itu
adalah haram. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.”
Di halaman yang sama Ibnu Qudamah mengatakan,
قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ :
أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْمُسَلِّفَ إذَا شَرَطَ عَلَى الْمُسْتَسْلِفِ زِيَادَةً
أَوْ هَدِيَّةً ، فَأَسْلَفَ عَلَى ذَلِكَ ، أَنَّ أَخْذَ الزِّيَادَةِ عَلَى
ذَلِكَ رَبًّا .وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ، وَابْنِ عَبَّاسٍ ،
وَابْنِ مَسْعُودٍ ، أَنَّهُمْ نَهَوْا عَنْ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً .وَلِأَنَّهُ
عَقْدُ إرْفَاقٍ وَقُرْبَةٍ ، فَإِذَا شَرَطَ فِيهِ الزِّيَادَةَ أَخْرَجَهُ عَنْ
مَوْضُوعِهِ .
“Ibnul Mundzir berkata: Para ulama sepakat bahwa jika seseorang
meminjamkan uang lantas ia memberi syarat pada si peminjam uang untuk adanya
tambahan atau hadiah, lalu ia pinjam dan tunaikan sedemikian rupa, maka
pengambilan tambahan di sini adalah riba. Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, Ibnu
‘Abbas, Ibnu Mas’ud bahwa mereka melarang dari bentuk utang piutang yang
terdapat keuntungan. Karena utang piutang termasuk akad tolong menolong dan cari
pahala karena menolong yang lain. Jika menolong ‘kok’ malah cari untung, ini
sudah keluar dari maksud untuk meringankan beban orang lain.” (Al Mughni,
6: 436).
Jika pemilik uang punya keinginan uangnya kembali utuh dan
mesti seperti itu, tanpa sama sekali ingin menanggung kerugian, ditambah ia
ingin ada tambahan, ini sama saja mencari untung dalam utang piutang.
Hal ini juga berlaku jika utang piutang menggunakan gadaian.
Barang gadaian pun tidak boleh dimanfaatkan oleh si pemberi pinjaman. Karena
kaedah di atas tetap berlaku dalam gadai, “Setiap utang piutang yang meraup
keuntungan, maka itu riba.”
Namun ada gadaian yang boleh dimanfaatkan jika dikhawatirkan
begitu saja ia akan rusak atau binasa. Seperti hewan yang memiliki susu dan
hewan tunggangan bisa dimanfaatkan sesuai pengeluaran yang diberikan si pemberi
utang dan tidak boleh lebih dari itu. Dari Abu Hurairah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ
إِذَا كَانَ مَرْهُونًا ، وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ
مَرْهُونًا ، وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ
“Barang gadaian berupa hewan tunggangan boleh ditunggangi
sesuai nafkah yang diberikan. Susu yang diperas dari barang gadaian berupa hewan
susuan boleh diminum sesuai nafkah yang diberikan. Namun, orang yang menunggangi
dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan” (HR. Bukhari no.
2512).
Kaedah Penting: Keuntungan bagi yang Berani Menanggung Resiko
Dalam kaedah fikih disebutkan,
الخراج بالضمان
“Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian”.
Maksud kaedah ini ialah orang yang berhak mendapatkan
keuntungan ialah orang yang punya kewajiban menanggung kerugian -jika hal itu
terjadi-. Keuntungan ini menjadi milik orang yang berani menanggung kerugian
karena jika barang tersebut suatu waktu rusak, maka dialah yang merugi. Jika
kerugian berani ditanggung, maka keuntungan menjadi miliknya.
Asal kaedah di atas berasal dari hadits berikut,
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا ابْتَاعَ غُلَامًا، فَأَقَامَ عِنْدَهُ مَا شَاءَ اللَّهُ
أَنْ يُقِيمَ، ثُمَّ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا، فَخَاصَمَهُ إِلَى النَّبِيِّ صلّى الله
عليه وسلّم، فَرَدَّهُ عَلَيْهِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ
اسْتَغَلَّ غُلَامِي؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم: الْخَرَاجُ
بِالضَّمَانِ
“Dari sahabat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya
seorang lelaki membeli seorang budak laki-laki. Kemudian, budak tersebut tinggal
bersamanya selama beberapa waktu. Suatu hari sang pembeli mendapatkan adanya
cacat pada budak tersebut. Kemudian, pembeli mengadukan penjual budak kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi-pun memutuskan agar budak tersebut
dikembalikan. Maka penjual berkata, ‘Ya Rasulullah! Sungguh ia telah
mempekerjakan budakku?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Keuntungan adalah imbalan atas kerugian.’” (HR. Abu Daud no.
3510, An Nasai no. 4490, Tirmidzi no. 1285, Ibnu Majah no. 2243 dan Ahmad 6:
237. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Dari kaedah di atas kita bisa mengambil dua pelajaran penting:- Dalam akad mudhorobah, jika sama-sama mendapat untung, maka pihak pemodal dan pelaku usaha harus sama-sama menanggung rugi. Jika pelaku usaha, sudah mendapatkan rugi karena usahanya gagal, maka pemodal pun harus menanggung rugi. Karena jika pemodal mendapat untung, maka kerugian pun -artinya: tidak mendapatkan apa-apa- harus berani ia tanggung. Termasuk kekeliruan jika si pemodal minta modalnya itu kembali selama bukan karena kecerobohan pelaku usaha.
- Bermasalahnya transaksi riba, simpan pinjam yang menarik keuntungan. Jika pihak kreditur dalam posisi aman, hanya mau ingin uangnya kembali, tanpa mau menanggung resiko karena boleh jadi yang meminjam uang adalah orang yang susah, maka berarti ini masalah. Karena kalau ia ingin uangnya kembali, maka ia pun harus berani menanggung resiko tertundanya utang tersebut. Alasannya adalah kaedah yang kita bahas saat ini.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Title : Investasi Dan Cara Memanfaatkan Modal
Description : Dua Akad yang Bisa Dimanfaatkan Jika Kita Memiliki Modal 1- Bagi hasil dalam untung dan rugi ( Mudharabah ) Dasar dalil mengenai dibo...
Description : Dua Akad yang Bisa Dimanfaatkan Jika Kita Memiliki Modal 1- Bagi hasil dalam untung dan rugi ( Mudharabah ) Dasar dalil mengenai dibo...
0 Response to "Investasi Dan Cara Memanfaatkan Modal"
Post a Comment