Jika wanita telah berihram untuk haji lalu ia mendapati haid, maka ia tetap
berihram sebagaimana yang lainnya. Ia melakukan semua amalan haji. Mulai dari
tanggal 8 Dzulhijjah dengan melaksanakan sunnah mabit di Mina, tanggal 9 wukuf
di Arafah, lalu dilanjutkan dengan mabit di Muzdalifah, dan melempar jumrah pada
hari ke-10, 11, 12, atau 13 Dzulhijjah. Yang tidak boleh dilakukan oleh wanita
haid hanyalah thawaf keliling Ka’bah, di samping itu wanita haid tidak
melakukan ibadah yang umum yaitu shalat, puasa, dan menyentuh mushaf. (Lihat
Masail Mu’ashiroh mimma Ta’ummu bihil Balwa, hal. 538-539).
Ketika ‘Aisyah haid saat haji, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda padanya,
فَافْعَلِى مَا يَفْعَلُ
الْحَاجُّ ، غَيْرَ أَنْ لاَ تَطُوفِى بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِى
“Lakukanlah segala sesuatu yang dilakukan orang yang berhaji selain dari
melakukan thawaf di Ka’bah hingga engkau suci.” (HR. Bukhari no. 305 dan
Muslim no. 1211)
Sedangkan untuk thawaf wada’, wanita haid mendapatkan keringanan untuk
meninggalkannya. Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
أُمِرَ النَّاسُ أَنْ يَكُونَ
آخِرُ عَهْدِهِمْ بِالْبَيْتِ ، إِلاَّ أَنَّهُ خُفِّفَ عَنِ الْحَائِضِ
“Manusia diperintahkan menjadikan akhir amalan hajinya adalah di Baitullah
(dengan thawaf wada’) kecuali hal ini diberi keringanan bagi wanita haidh.”
(HR. Bukhari no. 1755 dan Muslim no. 1328).
Wanita Haidh yang Tidak Mungkin Melakukan Thawaf Ifadhah Hingga Balik ke Tanah Air
Thawaf ifadhah merupakan salah satu rukun haji yang telah
disepakati. Thawaf ini biasa disebut thawaf ziyaroh atau thawaf
fardh. Dan biasa pula disebut thawaf rukun karena ia
merupakan rukun haji. Thawaf ini tidak bisa tergantikan. Setelah dari ‘Arofah,
mabit di Muzdalifah lalu ke Mina pada hari ‘ied, lalu melempar jumrah, lalu
nahr (melakukan penyembelihan) dan menggunduli kepala, maka ia mendatangi
Makkah, lalu thawaf keliling ka’bah untuk melaksanakan thawaf
ifadhah.
Perlu dipahami terlebih dahulu:
- Para ulama sepakat bahwa thawaf asalnya adalah dengan ber-thaharah (bersuci). Tidak boleh wanita haidh ber-thawaf padahal ia mampu nantinya berthawaf setelah ia suci.
- Para ulama sepakat bahwa thawaf qudum (thawaf yang disyari’atkan bagi orang yang datang dari luar Makkah sebagai penghormatan kepada Baitullah Ka’bah) dan thawaf wada’ (thawaf ketika meninggalkan Makkah) tidak wajib bagi wanita haidh.
- Para ulama sepakat bahwa wanita haidh dianjurkan untuk menunggu hingga suci ketika ia mendapati haidh sebelum melakukan thawaf ifadhah. Ketika ia suci barulah ia melakukan thawaf dan boleh meninggalkan Makkah (Lihat An Nawazil fil Hajj, 310-311).
Masalahnya adalah jika wanita mengalami
haid lantas ia tidak bisa melaksanakan thawaf ifadhah kecuali dengan keadaan
seperti itu. Apakah saat itu ia boleh melakukan thawaf tersebut dan ia
sangat tidak mungkin kembali untuk menyempurnakan hajinya dengan melakukan
thawaf ifadhah karena sangat jauhnya tanah airnya.
Para ulama berselisih pendapat dalam hal jika wanita haidh harus meninggalkan
Makkah dan belum melaksanakan thawaf ifadhoh (yang merupakan rukun haji) dan
tidak bisa lagi kembali ke Makkah, apakah ia boleh thawaf dalam keadaan haidh?
Apakah sah?
Yang tepat dalam kondisi wanita haidh seperti ini, bolehnya thawaf dalam
keadaan haidh meskipun kita mensyaratkan mesti harus berthoharoh ketika thawaf.
Di antara alasannya, jika thaharah adalah syarat thawaf, maka
kita analogikan (qiyaskan) seperti keadaan shalat. Syarat shalat jadi gugur jika
dalam keadaan tidak mampu (‘ajez). Seperti kita dalam keadaan sakit dan
tidak mampu berwudhu dan tayamum, maka tetap harus shalat meskipun dalam keadaan
hadats. Hal ini sama pula dengan thawaf (Lihat An Nawazil fil Hajj, hal.
311-312).
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah juga mengatakan, “Inilah pendapat
yang lebih menenangkan hati yaitu thawaf tidak dipersyaratkan thoharoh dari
hadats kecil. Namun jika seseorang ber-thaharah (dengan berwudhu’),
maka itu lebih sempurna dan lebih mencontohi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dan jangan sampai kita bermudah-mudahan menyelisihi pendapat jumhur
ulama (mayoritas ulama). Akan tetapi, kadangkala, apalagi dalam kondisi darurat,
kita memilih pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Seperti misalnya ketika
dalam kondisi sangat padat. Jika kita mengharuskan untuk berwudhu ketika
wudhunya batal, lalu ia balik ke tempat thawaf dalam keadaan padat jama’ah,
lebih-lebih lagi jika thawafnya masih tersisa beberapa putaran saja, maka ini
tentu jadi beban yang amat berat. Padahal kondisi sudah sulit seperti ini, namun
kita masih berpegang dengan dalil yang tidak jelas. Jadi kami sarankan tidak
perlu mewajibkan untuk thaharah dalam kondisi demikian. Namun hendaklah
mengambil sikap yang mudah dan toleran. Karena memaksa manusia padahal ada
kesulitan saat itu justru malah bertentangan dengan firman Allah
Ta’ala,
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ
وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu.” (QS. Al Baqarah: 185).” (Syarhul Mumthi’, 7: 262-263)
Penggunaan Obat Penghalang Haid Saat Haji
Demi mengatasi masalah yang dialami di atas, solusi yang bisa ditawarkan
adalah menggunakan obat penghalang haid saat haji. Obat seperti ini masih
dibolehkan apalagi di saat urgent seperti musim haji karena mengingat jarak
negeri kita dengan Haramain begitu jauh sehingga sulitnya menyempurnakan ibadah
tersebut jikalau wanita tiba-tiba datang bulan di tengah-tengah manasiknya.
Berikut beberapa pendapat ulama yang membolehkan penggunaan obat penghalang
haid.
‘Abdur Razaq telah menceritakan pada kami, (ia berkata) telah menceritakan
Ibnu Jarir pada kami, (ia berkata) bahwa ‘Atha’ ditanya mengenai seorang wanita
yang datang haidh lantas ia menggunakan obat-obatan untuk menghilangkan
haidh-nya padahal itu di masa haidnya, apakah ia boleh melakukan thawaf?
نعم إذا رأت الطهر فإذا هي رأت
خفوقا ولم تر الطهر الأبيض فلا
“Ia boleh thawaf jika ia telah suci. Jika ia melihat suatu yang kering, namun
belum terlihat tanda suci, maka ia tidak boleh thawaf”, jawab ‘Atha’.
(Mushannaf ‘Abdir Rozaq, 1219)
‘Abdur Rozaq telah menceritakan pada kami, (ia berkata) telah menceritakan
Ma’mar pada kami, (ia berkata) telah menceritakan pada kami Washil, bekas budak
Ibnu ‘Uyainah, (ia berkata) ada seseorang yang bertanya pada Ibnu ‘Umar mengenai
wanita yang begitu lama mengalami haidh lalu ia ingin mengkonsumsi obat yang
dapat menghentikan darah haidhnya. Washil berkata, “Ibnu ‘Umar menganggap hal
itu tidak masalah.”
Ma’mar berkata, “Aku mendengar Abu Najih menanyakan hal ini. Lantas ia
menganggap perbuatan semacam itu tidak mengapa.” (Mushonnaf ‘Abdur Rozaq, 1220).
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah berkata bahwa yang benar
riwayat ini adalah perkataan Abu Najih. (Jaami’ Ahkamin Nisa’, 1:
199)
Dalam Al Mughni, Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan, diriwayatkan
dari Imam Ahmad rahimahullah, beliau berkata, “Tidak mengapa seorang
wanita mengkonsumsi obat-obatan untuk menghalangi haidh, asalkan obat tersebut
baik (tidak membawa efek negatif).” (Al Mughni, 1: 450)
Syaikh Musthofa Al ‘Adawi hafizhohullah berkata, “Jika seorang wanita
menggunakan obat penghalang haidh karena uzur semisal ada hajat dalam hal ini …,
maka tidak mengapa ia menggunakannya. Jika haidhnya berhenti, lekaslah ia mandi,
lalu shalat dan boleh melakukan thowaf di Masjidil Haram sekehendak dia.”
(Jaami’ Ahkamin Nisa’, 1: 198)
Syaikh Abu Malik –penulis kitab Shahih Fiqh Sunnah- menerangkan, “Haidh
adalah ketetapan Allah bagi kaum hawa. Para wanita di masa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah menyusahkan diri mereka supaya dapat
berpuasa sebulan penuh (dengan mengahalangi datangnya haidh, pen). Oleh karena
itu, menggunakan obat-obatan untuk menghalangi datangnya haidh tidak dianjurkan.
Akan tetapi, jika wanita muslimah tetap menggunakan obat-obatan semacam itu dan
tidak memiliki dampak negatif, maka tidak mengapa. Jika ia menggunakan obat tadi
dan darah haidhnya pun berhenti, maka ia dihukumi seperti wanita yang suci,
artinya tetap dibolehkan puasa dan tidak ada qadha’ baginya. Wallahu
a’lam.” (Shahih Fiqh Sunnah, 2: 128)
Semoga sajian ini bermanfaat bagi jama’ah haji. Hanya Allah yang memberi
taufik.
—
Penulis: Muhammad Abduh
Tuasikal
Title : Wanita Haid Saat Haji
Description : Jika wanita telah berihram untuk haji lalu ia mendapati haid, maka ia tetap berihram sebagaimana yang lainnya. Ia melakukan semua amalan h...
Description : Jika wanita telah berihram untuk haji lalu ia mendapati haid, maka ia tetap berihram sebagaimana yang lainnya. Ia melakukan semua amalan h...
0 Response to "Wanita Haid Saat Haji"
Post a Comment